* Sumsel Masih Rawan Konflik Lahan
Palembang, SN
Lahan perkebunan di Sumsel yang mencapai 850 ribuan hektare diketahui masih dikuasai oleh investor atau pemodal besar baik itu dalam negeri maupun asing. Kondisi ini diakui sangat rawan untuk memicu terjadinya konflik antara warga dan perusahaan.
Hal ini diungkapkan Kepala Dinas Perkebunan Sumsel, Singgih Himawan, Selasa (20/12). Perkebunan dimaksud mencakup perkebunan sawit, perkebunan karet dan perkebunan lainnya.
Ia mengatakan, untuk perkebunan sawit, dari luas keseluruhannya, hanya 40- 45 persennya saja yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Sementara 55 persennya dimiliki oleh para investor. "Kondisi ini tentunya sangat timpang dan rentan terjadinya konflik," katanya.
Sementara untuk perkebunan karet kata Singgih, kepemilikannya sangat bertolak belakang dengan kebun sawit. "Perkebunan karet hampir 95 persen dimiliki oleh rakyat sehingga sektor ini lebih tentram dan jauh dari konflik," ujarnya.
Sementara itu menurut Syawaludin, Staf pengajar IAIN Raden Fatah, konflik pertanahan atau agraria seperti kasus Sodong di Sumsel terjadi karena adanya ketimpangan dalam kepemilikan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah ini.
“Kepemilikan luas lahan perkebunan kelapa sawit milik swasta lokal dan asing di Sumsel seperti tidak terbatas. Perkebunan tersebut memiliki HGU yang luasnya mencapai puluhan ribu hektar. Ini menjadi salah satu pemicu konflik di lapangan," urainya.
Sehubungan dengan ini, Anggota Komisi I DPRD Sumsel, Slamet Soemosentono mengimbau, agar pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) bagi perusahaan terutama dalam bidang perkebunan lebih selektif. Tujuannya, meminimalisir potensi konflik di kalangan masyarakat dengan perusahaan seperti yang terjadi di Desa Sodong, Kabupaten OKI.
"Kita tidak mau peristiwa Sodong atau Mesuji terulang kembali di Sumsel, hanya karena perebutan lahan antara masyarakat dan perusahaan," katanya.
Ia menilai, potensi konflik di Sumsel terkait masalah lahan masih tinggi, salah satunya di kabupaten Banyuasin. "Untuk itulah pemberian izin HGU harus lebih selektif, perusahaan yang tidak memenuhi syarat tidak boleh dikeluarkan izin HGU-nya," ujar dia.
Senada anggota Komisi I DPRD Sumsel lainnya, Arwani Dheni, menuturkan, soal Sumsel yang menjadi nomor 7 wilayah terkonflik pertahanan, harus menjadi warning bagi seluruh stakeholder di Sumsel.
“Memang kita sadari, permasalahan pertanahan ini tidak selesai dalam waktu singkat dan tidak ada obat yang paten untuk menyelesaikannya. Tapi kita harus sadari kalau tidak diselesaikan dari sekarang ya kapan lagi," tuntasnya. (awj)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar